Tomorrow Is a Long Time adalah film drama coming-of-age yang penuh nuansa tentang konflik antar generasi, identitas diri dan kelamnya kehidupan di ujung kota modern.
SINOPSIS FILM: Tomorrow Is a Long Time (2023)
Tomorrow Is a Long Time mengangkat kisah tentang Meng, seorang remaja yang tumbuh di tengah tekanan sosial dan ekspektasi keluarga setelah kehilangan ibunya. Ayahnya, Chua, bekerja sebagai penanggulangan hama di gedung-gedung besar, menjalani hari-harinya dalam kesunyian dan kelelahan — sementara Meng merasa terasing, kesepian, dan menjadi sasaran perundungan di sekolah.
Seiring waktu berjalan, hubungan antara ayah dan anak ini mulai membeku: Chua tenggelam dalam rasa bersalah dan kelelahan, sementara Meng mencari jalannya sendiri melalui kelompok teman yang menuntut pengakuan, sekaligus menghadapi rasa takut yang tak pernah ia ungkapkan. Ketika tekanan hidup memuncak — dari kematian rekan kerja Chua hingga pemanggilan wajib militer bagi Meng — mereka terlempar ke lingkungan baru, jauh dari kota, dan masuk ke dalam perjalanan yang menguji batas fisik dan emosional mereka.
Di hutan, jauh dari kenyamanan urban, Meng dan satuan militernya melewati inisiasi keras, pengkhianatan, dan pengalaman yang memaksa Meng menumbuhkan keberanian baru. Adegan-adegan hutan malam yang sunyi, api unggun, dan bisikan antara karakter menggambarkan transformasi internal Meng — dari anak yang takut menjelma menjadi sosok yang tahu makna tanggung jawab dan kehilangan. Sementara itu, Chua menghadapi realitas kerjanya yang berbahaya, racun yang terus menghantui tubuhnya, dan beban sebagai ayah yang tak tahu bagaimana mengungkapkan cinta juga rasa takutnya.
Film ini bukan sekadar tentang konflik ayah-anak atau perundungan remaja. Ia adalah tentang bagaimana rasa takut bisa diwariskan, bagaimana identitas bisa hilang dalam kebisingan kota, dan bagaimana alam — hutan, gelap, sunyi — bisa menjadi saksi perjalanan manusia meniti keberanian. Visual film menonjolkan keheningan, bingkai panjang tanpa banyak dialog, dan rasa bahwa waktu berjalan lambat namun penuh beban. Relasi antar karakter semakin intens ketika Meng harus memilih antara mundur atau melangkah ke depan — dan ketika Chua harus memilih antara pekerjaan yang membunuhnya perlahan atau menghadapi konsekuensi emosional yang tak terucapkan.
Di akhirnya, Tomorrow Is a Long Time mengantarkan kita pada momen reflektif: ketika ayah dan anak berdiri di ambang perubahan — bukan sebagai pemenang dalam arti tradisional, tetapi sebagai manusia yang menyadari kekurangan, rasa takut, dan keinginan untuk berdamai dengan diri sendiri. Film ini mengajak penonton memahami bahwa kemenangan terbesar bukanlah tentang mengalahkan orang lain, melainkan tentang berdamai dengan masa lalu dan menyiapkan hari esok yang jauh lebih panjang dari hari kemarin.
Dengan tempo yang lambat namun menghanyutkan, Tomorrow Is a Long Time cocok untuk Anda yang mencari film dengan kedalaman emosional, nuansa sinematik kuat, dan kisah yang merefleksikan kehidupan di pinggiran kota modern.